PERANG DINGIN AMERIKA SERIKAT DAN UNI SOVIET
Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War; bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya voyna, 1947–1991) adalah periode ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet serta sekutu masing-masing, Blok Barat dan Blok Timur. Istilah perang dingin digunakan karena tidak ada pertempuran berskala besar secara langsung antara kedua negara adidaya tersebut, tetapi masing-masing mendukung pihak yang berlawanan dalam konflik regional besar yang dikenal sebagai perang proksi. Konflik ini didasari oleh perjuangan ideologis dan geopolitik untuk mendapatkan pengaruh global dari kedua negara adidaya ini, setelah peran mereka sebagai Sekutu dalam Perang Dunia II yang berujung pada kemenangan melawan Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang pada tahun 1945.Selain perlombaan senjata nuklir dan pengerahan militer konvensional, perjuangan untuk mendominasi diekspresikan melalui cara-cara tidak langsung, seperti perang psikologis, kampanye propaganda, spionase, embargo yang luas, diplomasi olahraga, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Antariksa. Perang Dingin dimulai tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai mereda secara bertahap dengan perpecahan Sino-Soviet antara Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1961, dan berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat, serta sejumlah negara Dunia Pertama lainnya yang umumnya demokrasi liberal tetapi terikat pada jaringan negara-negara Dunia Ketiga yang sering kali otoriter, yang sebagian besar merupakan bekas jajahan kekuatan Eropa. Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet dan Partai Komunisnya, yang memiliki pengaruh di seluruh Dunia Kedua dan juga terkait dengan jaringan negara-negara otoriter. Uni Soviet memiliki ekonomi komando dan menerapkan rezim Komunis yang serupa di negara-negara satelitnya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam perubahan rezim selama Perang Dingin meliputi dukungan terhadap kediktatoran anti-komunis dan sayap kanan, pemerintahan, dan pemberontakan di seluruh dunia, sementara keterlibatan Soviet dalam perubahan rezim meliputi pendanaan partai-partai sayap kiri, perang pembebasan nasional, dan revolusi di seluruh dunia. Karena hampir semua negara kolonial mengalami dekolonisasi dan meraih kemerdekaan pada periode 1945-1960, banyak negara yang menjadi medan perang Dunia Ketiga dalam Perang Dingin.
Asal istilah
Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul “You and the Atomic Bomb” (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:
“Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menggunakannya dalam “perang dingin” permanen dengan tetangganya.”
Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa “setelah konferensi Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan ‘perang dingin’ terhadap Britania dan Imperiumnya.”
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden. Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947, Baruch menyatakan bahwa: “Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin.” Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah “perang dingin”, ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Prancis dari tahun 1930-an, la guerre froide
Latar belakang
Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19. Menurut beberapa sumber, perang dingin terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu pada tahun 1945, hal itu ditandai dengan merenggangnya hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional. Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet “dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan”, dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah “kepulauan sosialis”, menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang “dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi sosialis.”Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar dimana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode “stabilisasi sementara kapitalisme” menjelang keruntuhannya.
Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia, pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan, tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta,penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933, dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Prancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.
Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu
Akhir Perang Dunia II (1945–1947)
Konferensi pasca perang di Eropa
Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di Eropa. Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pasca perang. Sekutu Barat menginginkan sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi internasional.
Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia, serta besarnya jumlah korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia II, Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia pasca perang. Tujuan Roosevelt – kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian dunia – lebih bersifat global dibandingkan dengan Churchill, yang isinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.
Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churchill melakukan perjalanan ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churchill dalam isu dan Reparasi Polandia
Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pasca perang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga gagal mencapai konsensus mengenai kerangka kerja pasca perang di Eropa.Pada bulan April 1945, Churchill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.
Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur, sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.
Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai pendirian organisasi PBB multinasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya untuk menggunakan hak veto. Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda
Konferensi Postdam dan kekalahan Jepang
Konferensi Postdam merupakan konferensi terakhir yang dilakukan AS, Britania Raya, dan Rusia dalam PD II yang berlangsung sejak 17 Juli-2 Agustus 1945. Dalam Konferensi Postdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur.Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan kubu mereka masing-masing. Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.
Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan mengatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang. Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Postdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet
Awal Blok Timur
Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda), Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),Latvia (menjadi RSS Latvia),Lithuania (menjadi RSS Lithuania), bagian timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).
Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit, negara-negara ini diantaranya Jerman Timur,Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria, Republik Sosialis Cekoslovakia, Republik Rakyat Rumania, dan Republik Rakyat Albania.
Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial. Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.
Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.
Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat. Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk “memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia”. Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer
Persiapan untuk “perang baru”
Pada bulan Februari 1946, laporan “Telegram Panjang” George F. Kennan dari Moskow membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin. Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS “berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru”.
Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa. Sebulan kemudian, Byrnes mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan “intisari dari program kami untuk memenangkan hati warga Jerman […] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia […]”
Beberapa minggu setelah dirilisnya “Telegram Panjang”, mantan Perdana Menteri Britania Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, “Tirai Besi”, dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri. Dalam pidato tersebut, Churchill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah “tirai besi” dari “Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik”.
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini
Permulaan Perang Dingin (1947–1953)
Kominform dan perpecahan Tito–Stalin
Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Cominform. Kominform merupakan nama lain dari Biro Informasi Partai Komunis dan Pekerja. Kominform adalah forum resmi dari gerakan komunis internasional yang tujuannya adalah untuk menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur. Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.
Kontainmen dan Doktrin Truman
Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain. Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan kontainmen, yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400 juta untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter. Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yugoslavia Josip Broz Tito, AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan loyalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.
Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsensus kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat, sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, terlibat dalam operasi intelijen, operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir
Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia
Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan oleh Sekutu selama perang. Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet
Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa. Rencana ini juga menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman. Satu bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.
Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS. Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall. Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon). Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.
Pada awal 1948, menyusun laporan yang memperkuat “elemen reaksioner” di Cekoslowakia, Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya. Kebrutalan publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.
Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara. Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948. Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur, dan pengusiran diplomatik
Blokade Berlin
Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis juga digabungkan pada bulan April 1949). Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal Selain itu, sesuai dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.
Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 – 12 Mei 1949), salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.
Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946), yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi partai non-Komunis. Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjuk rasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan, dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman. Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin
Awal NATO dan Radio Free Europe
Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhstan. Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948, AS, Britania, dan Perancis mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober
Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal. Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap imperialisme
Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke Eropa Timur, upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.Radio Free Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai. Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan
Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan. Amerika Serikat, dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya. CIA diam-diam juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk Kebebasan
Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO. Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO
Perang Saudara Tiongkok dan SEATO
Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk. Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.Dalam NSC-68, sebuah dokumen rahasia pada tahun 1950, disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan
Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.Pada awal 1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Factomania”), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.
Perang Korea
Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan. Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.Untuk mengejutkan Stalin, Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Tiongkok. Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Prancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.
Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur militer. Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis Tiongkok, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai perang ini sering kali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua pasukan asing
Meskipun Tiongkok dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya. Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-partai pada tahun 1987
Krisis dan peningkatan (1953-1962)
Khrushchev, Eisenhower dan deStalinisasI
Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang Dingin.Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.
Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin.Sebagai bagian dari kampanye deStalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya pada masa lalu
Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: “Entah kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian”, pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir. Khrushchev kemudian mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai kemenangan komunisme atas kapitalisme. Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: “bahkan jika Uni Soviet berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet akan selesai”.
Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan “New Look” sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang. Dulles juga menyerukan doktrin “pembalasan besar-besaran” dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956
Fakta Warsawa dan Revolusi Hungaria
Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif. Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949, juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.
Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis Hungaria Mátyás Rákosi. Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan, rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.Ribuan warga Hungaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet, dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hungaria.Pemimpin Hungaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia
Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk “hidup berdampingan secara damai”. Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, dimana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri, dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka, yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era “pemikiran baru” Gorbachev.
Peristiwa di Hungaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat dan komunis merasa kecewa dengan respons brutal Soviet. Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hungaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa: “luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hungaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh
Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa
Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi “kota yang independen, ter demiliterisasi dan bebas”, hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa “Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin.” NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.
Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang merupakan produk dari Perang Dingin yang mempromosikan politik, ekonomi, dan militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.