Penulis: admin

  • PERANG DINGIN AMERIKA SERIKAT DAN UNI SOVIET

    PERANG DINGIN AMERIKA SERIKAT DAN UNI SOVIET

    Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War; bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya voyna, 1947–1991) adalah periode ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet serta sekutu masing-masing, Blok Barat dan Blok Timur. Istilah perang dingin digunakan karena tidak ada pertempuran berskala besar secara langsung antara kedua negara adidaya tersebut, tetapi masing-masing mendukung pihak yang berlawanan dalam konflik regional besar yang dikenal sebagai perang proksi. Konflik ini didasari oleh perjuangan ideologis dan geopolitik untuk mendapatkan pengaruh global dari kedua negara adidaya ini, setelah peran mereka sebagai Sekutu dalam Perang Dunia II yang berujung pada kemenangan melawan Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang pada tahun 1945.Selain perlombaan senjata nuklir dan pengerahan militer konvensional, perjuangan untuk mendominasi diekspresikan melalui cara-cara tidak langsung, seperti perang psikologis, kampanye propaganda, spionase, embargo yang luas, diplomasi olahraga, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Antariksa. Perang Dingin dimulai tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai mereda secara bertahap dengan perpecahan Sino-Soviet antara Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1961, dan berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.

    Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat, serta sejumlah negara Dunia Pertama lainnya yang umumnya demokrasi liberal tetapi terikat pada jaringan negara-negara Dunia Ketiga yang sering kali otoriter, yang sebagian besar merupakan bekas jajahan kekuatan Eropa. Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet dan Partai Komunisnya, yang memiliki pengaruh di seluruh Dunia Kedua dan juga terkait dengan jaringan negara-negara otoriter. Uni Soviet memiliki ekonomi komando dan menerapkan rezim Komunis yang serupa di negara-negara satelitnya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam perubahan rezim selama Perang Dingin meliputi dukungan terhadap kediktatoran anti-komunis dan sayap kanan, pemerintahan, dan pemberontakan di seluruh dunia, sementara keterlibatan Soviet dalam perubahan rezim meliputi pendanaan partai-partai sayap kiri, perang pembebasan nasional, dan revolusi di seluruh dunia. Karena hampir semua negara kolonial mengalami dekolonisasi dan meraih kemerdekaan pada periode 1945-1960, banyak negara yang menjadi medan perang Dunia Ketiga dalam Perang Dingin.

    Asal istilah

    Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul “You and the Atomic Bomb” (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:

    “Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menggunakannya dalam “perang dingin” permanen dengan tetangganya.”

    Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa “setelah konferensi Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan ‘perang dingin’ terhadap Britania dan Imperiumnya.”

    Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden. Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947, Baruch menyatakan bahwa: “Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin.” Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah “perang dingin”, ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Prancis dari tahun 1930-an, la guerre froide

     

    Latar belakang

    Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19. Menurut beberapa sumber, perang dingin terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu pada tahun 1945, hal itu ditandai dengan merenggangnya hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet.

    Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional. Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet “dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan”, dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.

    Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah “kepulauan sosialis”, menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang “dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi sosialis.”Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar dimana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode “stabilisasi sementara kapitalisme” menjelang keruntuhannya.

    Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia, pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan, tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta,penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933, dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Prancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.

    Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.

    Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu

     

    Akhir Perang Dunia II (1945–1947)

    Konferensi pasca perang di Eropa

    Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di Eropa. Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pasca perang. Sekutu Barat menginginkan sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi internasional.

    Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia, serta besarnya jumlah korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia II, Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.

    Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia pasca perang. Tujuan Roosevelt – kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian dunia – lebih bersifat global dibandingkan dengan Churchill, yang isinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.

    Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churchill melakukan perjalanan ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churchill dalam isu dan Reparasi Polandia

    Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pasca perang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga gagal mencapai konsensus mengenai kerangka kerja pasca perang di Eropa.Pada bulan April 1945, Churchill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.

    Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur, sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.

    Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai pendirian organisasi PBB multinasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya untuk menggunakan hak veto. Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda

     

    Konferensi Postdam dan kekalahan Jepang

    Konferensi Postdam merupakan konferensi terakhir yang dilakukan AS, Britania Raya, dan Rusia dalam PD II yang berlangsung sejak 17 Juli-2 Agustus 1945. Dalam Konferensi Postdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur.Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan kubu mereka masing-masing. Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.

    Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan mengatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang. Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Postdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet

     

    Awal Blok Timur

    Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda), Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),Latvia (menjadi RSS Latvia),Lithuania (menjadi RSS Lithuania), bagian timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).

    Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit, negara-negara ini diantaranya Jerman Timur,Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria, Republik Sosialis Cekoslovakia, Republik Rakyat Rumania, dan Republik Rakyat Albania.

    Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial. Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.

    Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.

    Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat. Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk “memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia”. Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer

     

    Persiapan untuk “perang baru”

    Pada bulan Februari 1946, laporan “Telegram Panjang” George F. Kennan dari Moskow membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin. Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS “berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru”.

    Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa. Sebulan kemudian, Byrnes mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan “intisari dari program kami untuk memenangkan hati warga Jerman […] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia […]”

    Beberapa minggu setelah dirilisnya “Telegram Panjang”, mantan Perdana Menteri Britania Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, “Tirai Besi”, dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri. Dalam pidato tersebut, Churchill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah “tirai besi” dari “Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik”.

    Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini

    Permulaan Perang Dingin (1947–1953)

    Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

    Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Cominform. Kominform merupakan nama lain dari Biro Informasi Partai Komunis dan Pekerja. Kominform adalah forum resmi dari gerakan komunis internasional yang tujuannya adalah untuk menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur. Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

     

    Kontainmen dan Doktrin Truman

    Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain. Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.

    Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan kontainmen, yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400 juta untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter. Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yugoslavia Josip Broz Tito, AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan loyalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.

    Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsensus kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat, sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, terlibat dalam operasi intelijen, operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir

     

    Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia

    Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan oleh Sekutu selama perang. Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet

    Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa. Rencana ini juga menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman. Satu bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.

    Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS. Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall. Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon). Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.

    Pada awal 1948, menyusun laporan yang memperkuat “elemen reaksioner” di Cekoslowakia, Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya. Kebrutalan publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.

    Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara. Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948. Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur, dan pengusiran diplomatik

     

    Blokade Berlin

    Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis juga digabungkan pada bulan April 1949). Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal Selain itu, sesuai dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.

    Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 – 12 Mei 1949), salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.

    Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946), yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi partai non-Komunis. Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjuk rasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan, dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman. Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin

     

    Awal NATO dan Radio Free Europe

    Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhstan. Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948, AS, Britania, dan Perancis mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober

    Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal. Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap imperialisme

    Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke Eropa Timur, upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.Radio Free Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai. Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan

    Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan. Amerika Serikat, dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya. CIA diam-diam juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk Kebebasan

    Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO. Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO

     

    Perang Saudara Tiongkok dan SEATO

    Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk. Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.Dalam NSC-68, sebuah dokumen rahasia pada tahun 1950, disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan

    Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.Pada awal 1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Factomania”), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.

    Perang Korea

    Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan. Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.Untuk mengejutkan Stalin, Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Tiongkok. Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Prancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.

    Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur militer. Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis Tiongkok, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai perang ini sering kali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua pasukan asing

    Meskipun Tiongkok dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya. Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-partai pada tahun 1987

     

    Krisis dan peningkatan (1953-1962)

    Khrushchev, Eisenhower dan deStalinisasI

    Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang Dingin.Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.

    Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin.Sebagai bagian dari kampanye deStalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya pada masa lalu

    Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: “Entah kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian”, pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir. Khrushchev kemudian mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai kemenangan komunisme atas kapitalisme. Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: “bahkan jika Uni Soviet berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet akan selesai”.

    Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan “New Look” sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang. Dulles juga menyerukan doktrin “pembalasan besar-besaran” dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956

     

    Fakta Warsawa dan Revolusi Hungaria

    Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif. Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949, juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.

    Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis Hungaria Mátyás Rákosi. Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan, rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.Ribuan warga Hungaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet, dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hungaria.Pemimpin Hungaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia

    Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk “hidup berdampingan secara damai”. Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, dimana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri, dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka, yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era “pemikiran baru” Gorbachev.

    Peristiwa di Hungaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat dan komunis merasa kecewa dengan respons brutal Soviet. Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hungaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa: “luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hungaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh

    Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa

    Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi “kota yang independen, ter demiliterisasi dan bebas”, hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa “Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin.” NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.

    Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang merupakan produk dari Perang Dingin yang mempromosikan politik, ekonomi, dan militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.

  • PERANG BESAR NEGARA PERANCIS “Perang Napoleon”

    PERANG BESAR NEGARA PERANCIS “Perang Napoleon”

    Perang Napoleon (1803–1815) atau adalah serangkaian konflik besar di Eropa yang mengacu pada Kekaisaran Perancis dan sekutunya, yang dipimpin oleh Napoleon I, melawan kekuatan yang berfluktuasi susunan Kekuatan Eropa dibentuk menjadi berbagai koalisi.Seri Perang Napoleon terutama terdiri dari 17 pertempuran besar Kaisar Napoleon. Ini menghasilkan periode dominasi Prancis atas sebagian besar benua Eropa. Perang berasal dari perselisihan yang belum terselesaikan terkait dengan Revolusi Prancis dan konflik yang dihasilkan. Perang sering dikategorikan ke dalam lima konflik, masing-masing disebut setelah koalisi yang melawan Napoleon: Koalisi Ketiga (1805), Keempat (1806– 07), Kelima (1809), Keenam (1813–14), dan Ketujuh (1815).

    Napoleon, setelah naik ke Konsul Pertama Prancis pada tahun 1799, telah mewarisi republik dalam kekacauan; dia kemudian menciptakan negara dengan keuangan yang stabil, birokrasi yang kuat, dan tentara yang terlatih. Pada tahun 1805, Austria dan Rusia membentuk Koalisi Ketiga dan mengobarkan perang melawan Prancis. Sebagai tanggapan, Napoleon mengalahkan tentara sekutu Rusia-Austria di Austerlitz pada bulan Desember 1805, yang dianggap sebagai kemenangan terbesarnya. Di laut, Inggris mengalahkan angkatan laut gabungan Prancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada 21 Oktober 1805. Kemenangan ini mengamankan laut Inggris dan mencegah invasi Inggris sendiri. Prihatin tentang peningkatan kekuatan Prancis, Prussia memimpin pembentukan Koalisi Keempat dengan Rusia, Saxony, dan Swedia, dan dimulainya kembali perang pada Oktober 1806 Napoleon dengan cepat mengalahkan Prusia di Jena dan Rusia di Friedland, membawa perdamaian yang tidak menyenangkan ke benua itu. Namun, perdamaian gagal, ketika perang pecah pada tahun 1809, dengan Koalisi Kelima yang tidak dipersiapkan dengan baik, dipimpin oleh Austria. Pada awalnya, Austria memenangkan kemenangan yang menakjubkan di Aspern-Essling, tetapi dengan cepat dikalahkan di Wagram.

    Perang Napoleon Berharap untuk mengisolasi dan melemahkan Inggris secara ekonomi melalui Sistem Kontinental, Napoleon meluncurkan invasi Portugal, satu-satunya sekutu Inggris yang tersisa di benua Eropa. Setelah menduduki Lisbon pada November 1807, dan dengan sebagian besar pasukan Prancis hadir di Spanyol, Napoleon memanfaatkan kesempatan untuk berbalik melawan mantan sekutunya, menggulingkan keluarga kerajaan Spanyol yang berkuasa dan mengatakan saudaranya Raja Spanyol pada tahun 1808 sebagai José I. Spanyol dan Portugis memberontak dengan dukungan Inggris dan mengusir Perancis dari Liberia pada tahun 1814 setelah pertempuran enam tahun.

    Bersamaan dengan itu, Rusia, yang tidak mau menanggung konsekuensi ekonomi dari pengurangan perdagangan, secara rutin melanggar Sistem Kontinental, mendorong Napoleon untuk meluncurkan invasi besar-besaran ke Rusia pada tahun 1812. Kampanye yang dihasilkan berakhir dengan bencana dan hampir penghancuran Grande Armée Napoleon.

    Didorong oleh kekalahan, Austria, Prusia, Swedia, dan Rusia membentuk Koalisi Keenam dan memulai kampanye baru melawan Prancis, mengalahkan Napoleon secara meyakinkan di Leipzig pada Oktober 1813 setelah beberapa pertempuran yang tidak meyakinkan. Sekutu kemudian menyerbu Perancis dari timur, sementara Perang Semenanjung meluas ke Prancis barat daya. Pasukan koalisi merebut Paris pada akhir Maret 1814 dan memaksa Napoleon untuk turun tahta pada bulan April. Dia diasingkan ke pulau Elba, dan Bourbon dipulihkan ke kekuasaan. Tapi Napoleon melarikan diri pada Februari 1815, dan menguasai kembali Perancis selama sekitar seratus hari. Setelah membentuk Koalisi Ketujuh, Sekutu mengalahkannya secara permanen di Waterloo pada bulan Juni 1815 dan mengasingkannya ke Saint Helena, di mana dia meninggal enam tahun kemudian

    Kongres Wina menggambar ulang perbatasan Eropa dan membawa periode yang relatif damai. Perang memiliki konsekuensi mendalam pada sejarah global, termasuk penyebaran nasionalisme dan liberalisme, kebangkitan Inggris sebagai kekuatan angkatan laut dan ekonomi terkemuka dunia, munculnya gerakan kemerdekaan di Amerika Latin dan penurunan berikutnya dari Kekaisaran Spanyol dan Kekaisaran Portugis, reorganisasi mendasar wilayah Jerman dan Italia menjadi negara bagian yang lebih besar, dan pengenalan metode baru yang radikal melakukan peperangan, serta hukum sipil. Akhir Perang Napoleon akan memulai periode perdamaian relatif di benua Eropa, yang berlangsung hingga Perang Krimea.

    Latar belakang, 1789–1802

    Revolusi Prancis mengancam kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa, dan menjadi persoalan yang lebih serius dengan ditangkapnya raja Louis XVI pada tahun 1792 dan pelaksanaan hukuman mati terhadapnya pada bulan Januari tahun 1793. Usaha pertama untuk menghancurkan Republik Prancis ini dimulai pada tahun 1792 ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol, dan Kerajaan Britania Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang Perancis yang baru, termasuk wajib militer secara serentak (levée en masse), pembaharuan sistem militer, dan perang secara total, memberikan kontribusi bagi kemenangan Prancis atas koalisi pertama. Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh Napoleon menerima syarat-syarat dalam perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-satunya kerajaan yang tersisa dari koalisi pertama yang memerangi Prancis sampai dengan tahun 1797.

    Koalisi kedua dibentuk pada tahun 1798, yang terdiri atas beberapa kerajaan: Austria, Britania Raya, Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Gereja, Portugal, dan Rusia. Napoleon Bonaparte, sang arsitek utama kemenangan Prancis pada tahun lalu atas koalisi pertama, melancarkan aksi militer ke Mesir (beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-Francois Champollion).

    Napoleon kembali ke Prancis pada tanggal 23 Agustus 1799. Kemudian ia mengambil alih pemerintahan pada tanggal 9 November 1799 dalam sebuah kudeta yang kemudian disebut Kudeta 18 Brumaire. Napoleon menata ulang sistem militer Prancis dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi militer di sekitar Rhine dan Italia. Di semua pertempuran, Prancis lebih unggul. Di Italia, Napoleon memenangkan perang dengan Austria dalam Marengo pada tahun 1800. Tetapi pertempuran yang menentukan terjadi di Rhein, dalam Pertempuran Hohenlinden pada tahun 1800. Dengan kalahnya Austria, kekuatan koalisi kedua hancur. Akan tetapi Britania Raya tetap kuat dan memberi pengaruh yang besar kepada negara-negara lainnya agar dapat mengalahkan Prancis. Napoleon menyadari bahwa tanpa kekalahan Inggris atau perjanjian damai dengannya, maka ia tidak akan pernah mencapai perdamaian secara penuh di benua Eropa.

    Perang Inggris dan Perancis, 1803–1814

    tidak seperti anggota koalisi lainnya, Inggris tetap berperang secara kecil-kecilan dengan Prancis. Dengan perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat, seperti yang diucapkan Admiral Jervis “Saya tidak menjamin bahwa Prancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut“, Inggris dapat tetap mensuplai dan mengadakan perlawanan di darat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Prancis dalam perang Peninsular pada tahun 1808-1814. Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan, serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portuguese ini sukses mengganggu pasukan Prancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada tahun 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo.

    Sebenarnya perjanjian damai (Perjanjian Amiens) antara Inggris dan Prancis telah disepakati pada tanggal 25 Maret 1802. Tetapi kedua belah pihak tidak pernah mematuhinya. Aksi militer kedua belah pihak selalu merusak perjanjian ini seperti misalnya Prancis ikut andil dalam kerusuhan sipil di Swiss (Stickly Krieg) dan menduduki beberapa kota di Italia, sementara Inggris menduduki Malta. Napoleon juga berusaha mengembalikan hukum kolonial di laut. Pada awal ekspedisi ini kelihatan sukses, akan tetapi dengan cepat berubah menjadi bencana. Komandan Prancis, juga saudara ipar Napoleon dan hampir sebagian besar tentaranya meninggal akibat wabah penyakit kuning, dan juga karena serangan musuh.

    Napoleon menjadi Kaisar Perancis pada tanggal 18 Mei 1804 dan menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa Notre-Dame pada tanggal 2 Desember.

    Koalisi ketiga, 1805

    Napoleon berencana menyerang Inggris,dan mengumpulkan 180.000 tentara di Boulogne. Namun, untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut – atau paling tidak dapat memukul mundur Britania dari Selat Inggris. Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan mengganggu jajahan mereka di India Barat gagal ketika armada Prancis-Spanyol di bawah Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran Cape Finisterre pada 22 Juli 1805. Angkatan Laut Kerajaan Inggris kemudian memblokade Villeneuve di Cádiz sampai ia pergi menuju Naples pada 19 Oktober; skuadron Britania mengejar dan mengalahkan armadanya dalam Pertempuran Trafalgar pada tanggal 21 Oktober (komandan Britania, Lord Nelson, tewas dalam pertempuran). Napoleon tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menantang Britania di laut. Napoleon membatalkan semua rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania, dan membalikan perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa sekali lagi. Tentara Perancis meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria.

    Pada bulan April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan dengan tujuan mengusir Perancis dari Belanda dan Swiss. Austria ikut serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan wilayah Genoa dan penobatan Napoleon sebagai Raja Italia pada tanggal 17 Maret 1805.

    Austria memulai peperangan dengan menginvasi Bavaria dengan bala tentaranya yang berjumlah 70 ribu prajurit, di bawah pimpinan Karl Mack von Leiberich. Dengan segera tentara Prancis keluar dari Boulogne pada akhir Juli 1805 untuk menghadapinya. Keduanya bertemu di Ulm (25 September – 20 Oktober). Napoleon mengepung tentara Mack, kemudian memaksanya menyerah tanpa kerugian yang signifikan.

    Dengan dikalahkannya tentara utama Austria di utara pegunungan Alpen (tentara lainnya di bawah pimpinan Adipati Agung Charles melawan tentara Prancis di Italia pimpinan marsekal André Masséna), Napoleon menduduki Wina. Jauh di belakang garis suplainya, ia berhadapan dengan bala tentara Austria-Rusia yang lebih besar di bawah komandan Mikhail Kutuzov, dimana Kaisar Alexander dari Rusia turut serta. Pada tanggal 2 Desember, Napoleon mengalahkan tentara pasukan Austro–Rusia di Moravia dalam Pertempuran Austerlitz (biasanya dianggap sebagai kemenangan terbesarnya). Napoleon menyebabkan 25.000 korban jiwa pada pasukan musuh yang unggul secara numerik, sementara mempertahankan kurang dari 7.000 korban dari pasukannya sendiri.

    Austria kemudian menandatangani kesepakatan Pressburg pada tanggal 26 Desember 1805 dan keluar dari koalisi. Perjanjian ini memaksa Austria menyerahkan wilayah Venesia kepada kerajaan Italia-yang didominasi Prancis dan Tyrol kepada Bavaria.

    Dengan mundurnya Austria dari perang ini, tentara Napoleon mencatat kemenangan terus-menerus di daratan, akan tetapi kekuatan penuh tentara Rusia belumlah ikut serta saat itu. Napoleon sekarang telah mengkonsolidasikan cengkeramannya di Prancis, telah menguasai Belgia, Belanda, Swiss, dan sebagian besar Jerman Barat dan Italia utara. Pengagumnya mengatakan bahwa Napoleon ingin berhenti sekarang, tetapi terpaksa melanjutkan untuk mendapatkan keamanan yang lebih besar dari negara-negara yang menolak untuk menerima penaklukannya. Sejarawan Charles Esdaile menolak penjelasan itu dan sebaliknya mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menghentikan ekspansi, karena negara-negara besar siap menerima Napoleon apa adanya:

    Pada tahun 1806 baik Rusia maupun Inggris sangat ingin berdamai, dan mereka mungkin telah menyetujui persyaratan yang akan membuat imperium Napoleon hampir sepenuhnya utuh. Adapun Austria dan Prusia, mereka hanya ingin dibiarkan sendiri. Untuk mendapatkan perdamaian kompromi, maka, akan relatif mudah. Tapi Napoleon siap untuk tidak membuat konsesi

    Koalisi keempat, 1806–1807

    Koalisi keempat terbentuk beberapa bulan setelah runtuhnya koalisi ketiga dan terdiri dari Prusia, Rusia, Saxon, Swedia, dan Inggris. Pada bulan Juli 1806, Napoleon membentuk Konfederasi Rhein dari banyak negara kecil Jerman yang membentuk Rhineland dan sebagian besar bagian barat Jerman lainnya. Dia menggabungkan banyak negara bagian yang lebih kecil menjadi elektoral, kadipaten, dan kerajaan yang lebih besar untuk membuat pemerintahan Jerman non-Prusia menjadi lebih lancar. Napoleon mengangkat para penguasa dari dua negara bagian Konfederasi terbesar, Saxony dan Bavaria, dengan status raja.

    Akibat terpecahnya kerajaan-kerajaan Jerman, dan atas desakan Napoleon, Kaisar Franz II dari Austria menyatakan bubarnya Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpinnya pada tanggal 6 Agustus 1806. Sejak itu berakhirlah suatu imperium longgar bangsa-bangsa Jerman yang berlangsung hampir selama 850 tahun.

    Pada Agustus 1806, raja Prusia, Friedrich Wilhelm III, memutuskan untuk berperang secara independen dari kekuatan besar lainnya. Tentara Rusia, sekutu Prusia, khususnya, terlalu jauh untuk membantu. Pada bulan September, Napoleon menggerakkan seluruh pasukannya yang berada di timur Rhein ke Prusia. Napoleon mengalahkan tentara Prusia di Jena pada tanggal 14 Oktober 1806, dan Marsekal Davout mengalahkan pasukan lainnya di Auerstädt pada hari yang sama. Sekitar 160,0000 tentara Prancis (bertambah jumlahnya seiring dengan berjalannya kampanye) menyerang Prusia, bergerak dengan sangat cepat sehingga mereka menghancurkan seluruh tentara Prusia sebagai kekuatan militer yang efektif. Dari 250.000 pasukan, Prusia menderita 25.000 korban, kehilangan 150.000 lagi sebagai tahanan, 4.000 artileri, dan lebih dari 100.000 senapan. Di Jena, Napoleon hanya melawan satu detasemen pasukan Prusia. Pertempuran di Auerstädt melibatkan satu korps Prancis yang mengalahkan sebagian besar tentara Prusia.

    Napoleon memasuki Berlin pada tanggal 27 Oktober 1806. Dia mengunjungi makam Friedrich yang Agung dan menginstruksikan seluruh marsekalnya untuk melepas topi mereka untuk memberi penghormatan seraya berucap

    Jika Friedrich yang Agung masih hidup, tentulah kita tidak akan sanggup berada di sini sekarang

    Dalam perang melawan Prusia ini, Napoleon hanya membutuhkan waktu 19 hari saja dari awal serangannya ke Prusia hingga menghentikannya dari perang dengan merebut Berlin dan penghancuran tentara utamanya di Jena dan Auerstädt. Sachsen meninggalkan Prusia, dan bersama dengan negara-negara kecil dari Jerman utara, bersekutu dengan Prancis.

    Selama konflik ini tercatat Malta mengirimkan bantuan kepada Rusia dan Prusia dengan harapan mereka mendapat aliansi politis melawan Napoleon dan Prancis, akan tetapi hal ini tidak berhasil karena bajak laut di sekitar Pantai Barbari menghadang dan merampas bantuan tersebut.

    Babak selanjutnya dari peperangan era Napoleon ini, adalah dipaksanya Rusia keluar dari Polandia oleh Prancis dan didirikan negara baru bernama Kadipaten Warsawa. Kemudian Napoleon beralih ke utara untuk berhadapan dengan sisa-sisa tentara Rusia, dan berusaha untuk menduduki ibu kota sementara Prusia, Koenigsberg. Dengan taktik berpindah di Pertempuran Eylau (7 Februari – 8 Februari 1807), Prancis berhasil memaksa Rusia mundur ke utara lebih jauh lagi. Napoleon kemudian mengepung mereka di Pertempuran Friedland (14 Juni 1807). Akibat kekalahan ini, Tsar Alexander terpaksa mengadakan perdamaian dengan Napoleon di Tilsit (7 Juli 1807). Pada bulan September, Marsekal Brunei secara menyeluruh berhasil menduduki Pomerania. Meskipun demikian, dia tetap mengizinkan pasukan Swedia yang kalah untuk mundur bersama peralatan perang mereka.

    Koalisi kelima, 1809 Perang Napoleon

    Koalisi kelima terdiri dari Britania Raya dan Austria yang dibentuk untuk melawan Prancis di daratan. Sementara di laut, sekali lagi Inggris berperang sendirian melawan sekutu-sekutu Napoleon. Tercatat sejak koalisi kelima terbentuk, angkatan laut kerajaan Inggris mencapai kesuksesan di daerah koloni Perancis dan memperoleh kemenangan yang besar melawan Denmark di Pertempuran Kopenhagen (2 September 1807).

    Di daratan, koalisi kelima berusaha memperluas wilayah tetapi dengan pergerakan militer terbatas. Seperti yang terjadi pada ekspedisi Walcheren pada tahun 1809, yang melibatkan angkatan darat Inggris dibantu oleh angkatan lautnya untuk membebaskan tentara Austria yang berada dalam tekanan tentara Prancis. Expedisi ini berakhir menjadi bencana setelah tentara yang dikomandani oleh John Pitt (pangeran kedua dari Chatham) gagal mencapai target yaitu pangkalan angkatan laut Perancis di Antwerpen.

    Dalam tahun-tahun selama koalisi kelima ini, pergerakan militer Inggris di daratan, terkecuali di jazirah Iberia (Al-Andalus), masih terbatas pada taktik serang dan lari dibantu oleh angkatan laut yang mendominasi laut setelah sukses menghancurkan hampir seluruh kemampuan angkatan laut Perancis dan sekutunya dan juga memblokade laut di sekitar pangkalan-pangkalan milik Perancis yang masih dipertahankan dengan kuat.

    Serangan kilat ini mirip dengan metode serangan yang dilancarkan oleh para gerilyawan. Umumnya angkatan laut membantu angkatan darat untuk menghancurkan kapal-kapal Prancis, mengganggu pengiriman, komunikasi, dan garnisun-garnisun militer di sekitar pantai. Dan sering juga angkatan laut datang menolong dengan menurunkan tentara mereka untuk membantu operasi militer yang dilancarkan bermil-mil jauhnya dari pantai.

    Kapal-kapal milik angkatan laut Inggris bahkan membantu dengan gempuran artileri dari moncong-moncong meriam mereka jika tentara Prancis yang bertempur tersesat hingga dekat dengan garis pantai. Tetapi bagaimanapun juga, kualitas dan kemampuan dari angkatan darat-lah yang sangat berpengaruh dari sukses tidaknya suatu operasi militer. Sebagai contoh, ketika taktik ini dilancarkan di Spanyol, kadang kala angkatan laut gagal mencapai target karena kurangnya kualitas dan kemampuan tentaranya.

    Peperangan ini juga merembet ke perang ekonomi antara sistem kontinental yang diterapkan oleh Prancis menghadapi blokade laut oleh Inggris di setiap wilayah kekuasaan Prancis. Kedua belah pihak selalu membuat konflik baru agar sistem mereka bisa dilaksanakan. Inggris berperang dengan Amerika antara tahun 1812-1815, sementara Prancis ikut serta dalam perang di Semenanjung Eropa selama tahun 1808-1814. Konflik di Liberia dimulai ketika Portugal melanjutkan perdagangan dengan Inggris meskipun ada larangan dari pihak Prancis. Ketika Spanyol mengalami kegagalan untuk mempertahankan aliansinya dengan Prancis, dengan segera tentara Prancis menyerang dan menduduki ibu kota Madrid.

    Austria yang sebelumnya menjadi sekutu Prancis, mengambil kesempatan untuk mengembalikan wilayah mereka di Jerman yang pernah dikuasainya sebelum mengalami kekalahan dalam perang di Austerlitz. Mereka memperoleh beberapa kemenangan atas tentara marsekal Davout yang memang terlalu sedikit dalam menjaga seluruh front timur. Napoleon hanya menempatkan sekitar 170.000 tentaranya untuk menjaga seluruh front timur ini. (bandingkan dengan tahun 1790-an, ada sekitar 800.000 tentara yang menjaga front timur ini bahkan lebih pendek jaraknya saat itu).

    Napoleon sangat gembira dengan keberhasilan pasukannya merebut Spanyol dan menduduki Madrid dengan mudah, dan memaksa mundur sejumlah besar tentara Inggris dari Andalusia (Pertempuran Coruna, 16 Januari 1809). Akan tetapi serangan yang dilancarkan Austria mencegah Napoleon menyelesaikan pengusiran tentara Inggris dari Andalusia karena dia harus pergi ke Austria untuk memimpin pasukan dan tidak pernah kembali ke arena pertempuran di jazirah ini. Karena ketidakhadirannya beserta marshal terbaiknya (Davout tetap memimpin di timur selama peperangan), situasi di Spanyol makin memburuk, terutama ketika Jenderal Inggris Sir Arthur Wellesley yang terkenal itu tiba untuk memimpin pasukan.

    Tentara Austria menyerbu ke kadipaten Warsawa tetapi mengalami kekalahan pada Pertempuran Radzyn pada tanggal 19 April 1809. Tentara Polandia menduduki Galicia barat menambah daftar kesuksesan mereka.

    Kemudian Napoleon memimpin sendiri tentaranya untuk melakukan serangan balik ke Austria. Setelah melalui beberapa pertempuran kecil, Austria akhirnya dipaksa mundur dari Bayern, sementara Napoleon terus bergerak memasuki Austria. Akibat keinginannya untuk segera menyeberangi sungai Danube mengakibatkan pertempuran besar yang terkenal dengan nama Pertempuran Aspern-Essling (22 Mei 1809) — Kekalahan telak pertama yang diderita Napoleon dari pasukan Austria yang dipimpin oleh Jenderal Archduke Karl. Baru pada awal bulan Juli (5 Juli – 6 Juli), Napoleon berhasil merebut Vienna dengan mengalahkan tentara Austria pada Pertempuran Wagram. (Pada saat berlangsung pertempuran ini, Napoleon mencopot Marsekal Bernadotte dari jabatannya dan mempermalukan dia di hadapan marsekal senior lainnya. Segera setelah kejadian ini, Bernadotte menerima tawaran dari Swedia untuk mengisi posisi sebagai pangeran. Selanjutnya dia secara aktif berpartisipasi dalam peperangan ini melawan Napoleon.)

    Perang koalisi kelima ini berakhir dengan kesepakatan Schönbrunn (14 Oktober 1809). Selanjutnya di timur hanya pemberontak Tyrol-lah yang dipimpin oleh Andreas Hofer yang tetap melanjutkan perlawanan terhadap tentara Prancis-Bayern sampai akhirnya mereka dikalahkan pada bulan November 1809, sementara itu perang di semenanjung Eropa Barat tetap berlanjut.

    Kekaisaran Perancis mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1810 dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Sementara itu Inggris dan Portugal tetap menjaga area di sekitar Lisbon (di belakang garis depan di Torres Vedras) dan untuk mengepung Cadiz. Napoleon menikah dengan Marie-Louise, Putri dari Austria, dengan maksud untuk mempererat aliansi dengan Austria dan memperoleh keturunan untuk menjadi putra mahkota baru. Hal ini tidak didapatkannya dari istri pertama, Josephine. Sebagai kaisar Perancis, Napoleon mengontrol negara-negara konfederasi Swiss, konfederasi Rhine, kadipaten Warsawa dan kerajaan Italia. Wilayah-wilayah di bawah kekaisaran Perancis termasuk:

    • Kerajaan Spanyol (di bawah pimpinan Joseph Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
    • Kerajaan Westphalia (Jerome Bonaparte, saudara laki-laki Napoleon)
    • Kerajaan Napoli (Joachim Murat, suami dari Caroline, saudara perempuan Napoleon)
    • Kerajaan Lucca dan Piombino (saudara perempuan Napoleon Elisa Bonaparte dan suaminya Felice Bacciocchi)
    • Bekas musuh Napoleon sebelumnya, Prusia dan Austria

    Invasi ke Rusia, 1812

    Seperti yang disebutkan di atas, hasil dari pakta Tilsit tahun 1807 mengakibatkan perang Anglo-Rusia 1807–1812. Tsar Alexander I menyatakan perang kepada Inggris setelah Inggris menyerang Denmark pada bulan September tahun 1807. Banyak pelaut Inggris yang ikut membantu armada laut Swedia selama perang Finlandia dan memperoleh kemenangan atas Rusia di teluk Finlandia pada bulan Juli tahun 1808 dan bulan Agustus tahun 1809, tetapi kemenangan tentara Rusia di daratan memaksa Swedia menandatangani perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1809 dan dengan Prancis pada tahun 1810 juga harus bergabung untuk memblokade Inggris.

    Meski begitu hubungan Prancis dan Rusia menjadi semakin buruk setelah tahun 1810, sementara perang Rusia dan Inggris telah berakhir. Pada bulan April tahun 1812, Rusia, Inggris dan Swedia menandatangani perjanjian rahasia untuk bergabung melawan Napoleon.

    Napoleon menginvasi Rusia pada tahun 1812 dengan maksud memaksa kaisar Alexander I tetap mengikuti sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil kemungkinan ancaman Rusia yang akan menginvasi Polandia. Dengan membawa pasukan dalam jumlah besar yaitu sekitar 650.000 orang (270.000 orang Prancis, sisanya tentara dari berbagai wilayah lain) pada tanggal 23 Juni 1812 mereka menyeberangi sungai Niemen. Rusia mengatakan ini sebagai perang patriotik membela negara sementara Napoleon menyatakannya sebagai perang Polandia Kedua. Hal ini tidak seperti harapan rakyat Polandia (ada sekitar 100.000 tentara Polandia yang bergabung dalam invasi ini) yakni Napoleon ternyata tidak ingin bernegosiasi dengan Rusia.

    Rusia menerapkan strategi membumihanguskan kota sambil mundur teratur. Pertempuran hanya terjadi di Borodino pada tanggal 7 September 1812. Pada tanggal 14 September 1812, pasukan Napoleon berhasil masuk kota Moskwa yang sebenarnya sudah ditinggalkan penduduknya dan dibumihanguskan atas perintah gubernur-nya: Pangeran Fyodor Vasilievich Rostopchin.

    Pada Pertempuran Maloyaroslavets, Prancis mencoba mencapai kota Kaluga, di mana mereka bisa mendapatkan persediaan makanan dan pakan ternak. Tentara Rusia yang telah pulih memblokir jalan, dan Napoleon terpaksa mundur dengan cara yang sama seperti saat dia datang ke Moskow, melalui daerah yang rusak parah di sepanjang jalan Smolensk. Pada minggu-minggu berikutnya, Grande Armée mendapat pukulan telak akibat dimulainya Musim Dingin Rusia, kurangnya perbekalan, dan perang gerilya yang terus-menerus dilakukan oleh para petani Rusia dan pasukan irregular.

    Akhirnya dimulailah penarikan pasukan secara besar-besaran dari Kota Moskwa akibat cuaca yang sangat dingin dan juga makin hebatnya serangan Rusia yang memang memanfaatkan cuaca dingin sebagai senjata. Korban mencapai sekitar 380.000 jiwa (kebanyakan akibat kelaparan dan kedinginan) dan 100.000 ditawan.Korban jiwa pada pihak Rusia sekitar 210.000 jiwa. Pada bulan November, sisa dari pasukan besar ini menyeberangi sungai Berezina dan hanya sekitar 27.000 tentara yang masih dalam kondisi fit. Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan kembali ke Prancis untuk menyiapkan pertahanan di Polandia dari serangan tentara Rusia.

    Koalisi keenam, 1812-1814 Perang Napoleon

    Melihat adanya kemungkinan untuk mengalahkan Napoleon yang sudah lemah akibat kekalahan besar di Rusia, dengan segera Prusia, Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman ikut dalam peperangan lagi. Napoleon bersumpah dia akan membentuk tentara baru sebesar tentara yang dikirimkan ke Rusia, dan memang dengan secara cepat dia membentuk tentaranya di timur dari 30.000 menjadi 130.000 dan pada akhirnya mencapai 400.000 orang. Pertempuran pun segera terjadi di Lützen (2 Mei 1813) dan Bautzen (20-21 Mei 1813) yang mengakibatkan kerugian besar di pihak koalisi yaitu sekitar 40 ribu jiwa. Tercatat lebih dari 250.000 tentara yang terlibat dalam dua pertempuran ini.

    Sementara itu pada peperangan di semenanjung Eropa tepatnya di kota Vitoria ( 21 Juni 1813), pasukan Arthur Wellesley meraih kemenangan atas pasukan Joseph Bonaparte sehingga hancurlah kekuatan Prancis di Spanyol dan memaksa mereka mundur melewati pegunungan Pyrenia.

    Kedua belah pihak menyatakan gencatan senjata yang mulai efektif tanggal 4 Juni sampai dengan 13 Agustus 1813. Selama masa damai ini kedua belah pihak berusaha pulih dari kerugian yang dideritanya sejak bulan April yang telah menelan korban jiwa hampir seperempat juta. Pihak koalisi juga berhasil mempengaruhi Austria agar berperang melawan Prancis. Akhirnya dua inti dari pasukan Austria yang berjumlah 300.000 orang ikut serta dalam koalisi sehingga menambah kekuatan mereka di Jerman. Total jumlah pasukan koalisi saat itu mencapai 800.000 tentara di garis depan Jerman, dengan cadangan mencapai 350.000 tentara.

    Napoleon berhasil membawa pasukan kekaisaran di wilayah itu menjadi sekitar 650.000 — meskipun hanya 250.000 yang berada di bawah komando langsungnya, sementara 120,000 tentara lainnya berada di bawah komando Marsekal Nicolas Charles Oudinot dan 30.000 di bawah komando Marsekal Davout.

    Negara-negara yang bergabung dalam konfederasi Rhine, terutama Saxon dan Bayern adalah penyumbang tentara terbesar untuk Napoleon. Di selatan, Kerajaan Napoli dan Kerajaan Italia turut menambah kekuatan dengan menyediakan sekitar 100.000 tentara. Sementara di Spanyol masih ada sekitar 150-200 ribuan tentara Prancis meskipun saat itu mereka sudah dipaksa mundur oleh Inggris dari wilayah tersebut. Jadi ada sekitar 900.000 tentara Prancis yang tersebar di semua medan pertempuran berhadapan dengan sekitar 1 juta tentara koalisi (belum termasuk tentara cadangan di Jerman).

    Setelah masa gencatan senjata selesai, tampaknya Napoleon akan meraih kembali masa kejayaannya setelah meraih kemenangan besar atas tentara koalisi di Dresden pada bulan Agustus tahun 1813. Akan tetapi di medan pertempuran lain semua marsekalnya mengalami kekalahan sehingga kemenangan ini menjadi tidak ada artinya lagi. Pada Pertempuran Leipzig di Saxon (16-19 Oktober 1813) yang juga dikenal dengan nama pertempuran banyak bangsa, sekitar 190.000 tentara Prancis berhadapan dengan 300.000 tentara koalisi, yang pada akhirnya memaksa mereka mundur sampai ke kampung halamannya sendiri, Prancis. Kemudian Napoleon masih memimpin beberapa pertempuran lagi termasuk pertempuran Arcis-sur-Aube di Prancis sendiri, akan tetapi karena banyaknya jumlah tentara koalisi yang terlibat pertempuran membuat mereka kewalahan

    Akhirnya pasukan koalisi memasuki Paris pada tanggal 30 Maret 1814. Tercatat Napoleon masih memimpin pasukannya dan mendapat kemenangan berkali-kali atas pasukan koalisi yang maju terus menuju Paris. Akan tetapi dia hanya memimpin sekitar 70.000 tentara melawan 500.000 tentara koalisi, suatu jumlah yang tidak sebanding. Pada tanggal 9 Maret 1814 diadakan perjanjian Chaumont yang menyetujui agar koalisi tetap dipertahankan sampai pasukan Napoleon dapat dikalahkan seluruhnya.

    Napoleon memutuskan tetap bertempur, meskipun dia sudah di ambang kekalahan. Selama masa ini tercatat dia mengeluarkan 900.000 surat keputusan wajib militer tetapi hanya beberapa saja yang berhasil dilaksanakan. Akhirnya Napoleon kalah dan turun takhta pada tanggal 6 April 1814, tetapi pasukannya di Italia, Spanyol dan Belanda masih terus melakukan perlawan selama musim semi tahun 1814.

    Pihak koalisi memutuskan untuk mengasingkan Napoleon ke pulau Elba, dan mengembalikan Prancis menjadi kerajaan serta mengangkat Louis XVIII sebagai raja. Mereka juga mengadakan perjanjian di Fontainebleau (11 April 1814) serta kongres di Wina untuk menata ulang peta wilayah di Eropa.

    Perang Denmark-Inggris, 1807-1814

    Selama peperangan era Napoleon, sebenarnya Denmark – Norwegia menyatakan sebagai negara netral dan hanya mengadakan perdagangan dengan Prancis. Akan tetapi pihak Inggris yang terus-menerus menyerang, menangkap dan menghancurkan sebagian besar armada laut Denmark pada pertempuran Kopenhagen pertama (2 April 1801) dan hal ini diulangi lagi pada pertempuran Kopenhagen kedua (Agustus-September 1807) mengakibatkan Denmark melakukan perang gerilya terhadap armada Inggris di laut Denmark-Norwegia dengan menggunakan kapal-kapal kecil yang dilengkapi meriam. Perang ini akhirnya berhenti setelah Inggris meraih kemenangan pada pertempuran Lyngor pada tahun 1812, yang mengakibatkan kerusakan pada kapal Denmark yang terakhir, yaitu kapal perang Najaden.

    Koalisi ketujuh, 1815 Perang Napoleon

    Koalisi ketujuh yang terdiri atas Britania Raya, Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman terbentuk pada tahun 1815 setelah larinya Napoleon dari pulau Elba (tercatat sekitar seratus hari dia kembali memimpin Prancis). Napoleon mendarat di Cannes pada tanggal 1 Maret 1815. Dalam perjalanannya ke Paris, ia mengumpulkan tentara yang masih setia kepadanya, dan akhirnya menggulingkan raja Louis XVIII. Pihak koalisi segera mengumpulkan pasukan kembali untuk berhadapan dengannya. Napoleon berhasil mengumpulkan 280.000 orang, yang ia pecah menjadi beberapa kesatuan. Untuk menambah kekuatan, Napoleon memanggil kembali seperempat juta veteran perang serta membuat keputusan untuk mengadakan kembali wajib militer agar dapat menambah jumlah pasukan menjadi 2,5 juta tentara yang pada kenyataannya tidak berhasil dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghadapi pasukan koalisi yang berjumlah sekitar 700.000 tentara.

    Dengan membawa 124.000 pasukannya yang berada di utara, Napoleon melakukan serangan kejutan ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Serangan ini dia lakukan dengan harapan mendorong Inggris mundur ke laut dan memaksa Prusia keluar dari peperangan. Serangan kejutan ini mencapai sukses, memaksa Prusia bertempur di Ligny pada tanggal 16 Juni 1815 dan berhasil mengalahkan mereka sehingga mundur dalam keadaan kacau-balau. Pada hari yang sama tetapi di lain tempat, pasukan sayap kiri pimpinan Marsekal Michel Ney sukses menahan bala bantuan yang akan datang dari tentara Wellington dalam Pertempuran Quatre Bras. Tetapi Ney gagal membersihkan persimpangan jalan Quatre Bras ini sehingga tentara Wellington dapat memperkuat kembali posisinya.

    Dengan mundurnya Prusia, pasukan Wellington yang tadinya ingin membantu menjadi mundur juga. Mereka kembali ke posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo. Napoleon membawa cadangan pasukannya yang ada di utara, dan bergabung dengan pasukan Ney untuk mengejar Wellington. Tetapi hal ini dia lakukan sebelum menginstruksikan kepada marshal Grouchy untuk memimpin pasukan sayap kanan menahan tentara Prusia yang sudah bersatu kembali.

    Grouchy gagal melaksanakan perintah ini, meskipun sebenarnya pasukan von Thielmann berhasil mengalahkan barisan belakang pasukan Prusia di Pertempuran Wavre pada tanggal 18-19 Juni, sisa pasukan Prusia tetap menuju Waterloo. Napoleon menunda Pertempuran Waterloo beberapa jam di pagi hari pada tanggal 18 Juni, karena belum mengeringnya tanah akibat hujan pada malam sebelumnya. Ternyata sampai petang hari, pasukan Prancis belum mampu menaklukkan pasukan Wellington. Ketika pasukan Prusia akhirnya datang dan menyerang sayap kanan Prancis dalam jumlah besar, gagallah strategi Napoleon untuk tetap memecah kekuatan koalisi.

    Marsekal Grouchy menebus kesalahannya di atas dengan sukses mengorganisasikan pasukan yang mundur dari kota Paris, sementara marsekal Davout dengan 117.000 tentaranya berhadapan dengan 116.000 tentara Blucer-Wellington. Secara militer sangat dimungkinkan Prancis mengalahkan gabungan kedua tentara ini akan tetapi situasi politik membuktikan bahwa kekaisaran sudah mulai jatuh. Jadi, meskipun akhirnya Davout sukses mengalahkan kedua gabungan pasukan ini, sekitar 400.000 tentara Rusia dan Austria tetap maju terus dari arah timur tidak terpengaruh akan kekalahan ini.

    Ketika tiba di Paris pada hari ketiga sesudah kekalahan di Waterloo, Napoleon sebenarnya masih berharap timbulnya perlawanan rakyat untuk membela negara terhadap datangnya pasukan asing yang ingin menguasai Prancis. Akan tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan karena secara umum rakyat Prancis menolak. Para politisi memaksa Napoleon untuk turun takhta lagi pada tanggal 22 Juni 1815. Meskipun akhirnya kaisar turun takhta, pertempuran sporadis masih terus berlanjut di sepanjang perbatasan timur dan di luar kota Paris sampai disepakatinya gencatan senjata tanggal 4 Juli. Baru pada tanggal 15 Juli, Napoleon menyerahkan dirinya ke skuadron Inggris di Rochefort yang selanjutnya membuangnya kembali ke pulau Saint Helena, tempat dia akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 1821.

    Sementara itu di Italia, Joachim Murat yang masih menjadi Raja Napoli setelah menyerahnya Napoleon, sekali lagi menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada saudara iparnya itu dengan melancarkan perang Neapolitan (bulan Maret sampai Mei 1815). Dia berharap mendapat dukungan para nasionalis yang saat itu sedang dilanda ketakutan atas berkembangnya pengaruh Habsburg. Tetapi dukungan yang diharapkannya tidaklah datang, dan akhirnya datanglah pasukan Austria sehingga pecah pertempuran Tolentino pada tanggal 2-3 Mei 1815 yang memaksanya untuk melarikan diri. Dinasti Bourbon akhirnya kembali menduduki tahta Napoli pada tanggal 20 Mei 1815. Murat dieksekusi di depan regu tembak pada tanggal 13 Oktober 1815.

    Pengaruh politik Perang Napoleon

    Peperangan era Napoleon membawa perubahan besar di Eropa. Meskipun hampir semua wilayah di Eropa Barat di bawah kekuasaan Napoleon (prestasi yang hanya bisa dibandingkan dengan kekaisaran Romawi tempo dulu), peperangan antara Perancis dengan kekuatan lain di benua Eropa selama lebih dari dua dekade akhirnya sampai pada titik penghabisan. Setelah peperangan era Napoleon berakhir, dominasi Prancis di Eropa praktis lenyap, dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV.

    Inggris akhirnya muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa angkatan laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di bidang ekonomi dan industri.

    Hampir di semua negara Eropa, cita-cita dari Revolusi Prancis (seperti demokrasi, hak dan persamaan dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi. Hal ini mengakibatkan sulitnya para raja di Eropa mengembalikan hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang diterapkan oleh Napoleon. Bahkan hingga hari ini beberapa dari hukum tersebut masih dipakai, misalnya di banyak negara Eropa hukum sipilnya jelas-jelas mengadopsi kode Napoleon.

    Paham nasionalisme yang relatif baru saat itu dengan cepat berkembang di Eropa dan nantinya banyak mempengaruhi jalannya sejarah di sana, mulai dari berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara. Peta politik di Eropa berubah drastis setelah era Napoleon, tidak lagi berbasis aristokrasi atau monarki mutlak tetapi berdasarkan kerakyatan. Era Napoleon telah menyebarkan benih bagi berdirinya negara Jerman modern dan Italia modern dengan bergabungnya negara-negara bagian dan juga kerajaan-kerajaan kecil.

    Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walaupun dia sendiri gagal mewujudkannya) adalah harapannya untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini digulirkan lagi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ide ini kini sudah diwujudkan dengan adanya mata uang tunggal Uni Eropa, Euro

    Warisan militer Perang Napoleon

    Peperangan era Napoleon juga memberikan perubahan yang sangat besar di dunia militer. Sebelum era Napoleon, negara-negara di Eropa biasanya memiliki tentara dalam jumlah sedikit dan itu pun banyak diisi oleh tentara bayaran – kadang kala mereka bertempur melawan negara asalnya sendiri. Inovasi militer yang timbul dalam era Napoleon yaitu mulai dikenalnya kekuatan rakyat yaitu jika seluruh rakyat ikut berperang.

    Napoleon mempraktikkan inovasinya seperti yang dipertunjukkan pada pertempuran Austerlitz tahun 1805. Dengan taktik yang brilian untuk menghadapi musuh yang berjumlah lebih besar, ia memerintahkan pasukannya untuk senantiasa berpindah posisi secara cepat dari satu tempat ke tempat lainnya.

    Tentara Prancis juga memperbaiki aturan main untuk divisi artileri mereka, menjadi kesatuan terpisah dan dapat bergerak cepat. Hal ini mengubah tradisi sebelumnya, yaitu tradisi artileri hanya digunakan sebagai alat untuk mendukung suatu pasukan. Napoleon juga membuat standarisasi ukuran bola-bola meriam agar mudah dibawa dan bisa dipakai di semua jenis artileri.

    Prancis memiliki populasi terbesar kedua di dunia saat itu, yaitu sekitar 28 juta jiwa (dibandingkan dengan Inggris 12 juta jiwa dan Rusia sekitar 30 sampai 40 juta jiwa), Napoleon dapat mengambil keuntungan dari diberlakukannya wajib militer. Banyak pengamat militer saat ini yang salah persepsi dengan menyatakan bahwa ide wajib militer ini sudah berkembang sejak revolusi Prancis bukan dari Napoleon. Memang tidak semua inovasi militer dari era Napoleon. Lazare Carnot yang memberi sumbangan besar dalam menata ulang tentara Prancis dari tahun 1793 sampai dengan tahun 1794.

    Besarnya jumlah pasukan yang terlibat telah mengubah dunia militer saat itu. Sebelum era Napoleon, pada saat perang 7 tahun (1756-1763), hanya sedikit yang terlibat, paling banyak 200 ribu orang saja. Bandingkan dengan Prancis pada tahun 1790-an, telah memperbanyak jumlah personel-nya menjadi 1,5 juta jiwa. Dan total sekitar 2,8 juta personel yang bertempur di daratan dan 150 ribu di laut, sehingga jumlah keseluruhan tentara yang terlibat menjadi hampir 3 juta personel.

    Inggris memiliki 747.670 tentara antara tahun 1792 sampai dengan 1815. Ditambah lagi dengan seperempat juta personel di laut. Pada bulan September 1812, Rusia memiliki sekitar 904 ribu tentara yang terdaftar, dan antara tahun 1799 sampai dengan 1815 memiliki total 2,1 juta personel, kemungkinan sekitar 400 ribu bergabung antara tahun 1792 sampai dengan 1799. Sedangkan di laut, Rusia memiliki 200 ribu tentara sejak tahun 1792 hingga 1815.

    Austria memiliki 576 ribu tentara dan hanya sedikit atau tidak memiliki kekuatan di lautan. Mereka memberikan perlawanan terus-menerus kepada Prancis sehingga kemungkinan besar tentara yang terlibat bisa mencapai 1 juta sampai berakhirnya perang. Prusia hanya mempunyai 320 ribu tentara saja selama perang ini, sedangkan Spanyol sekitar 300 ribu ditambah beberapa unit pasukan yang bergerilya.

    Amerika Serikat mengirim 286.730 personel, sedangkan konfederasi Maratha, Kesultanan Utsmaniyah, Italia, Napoli dan Kadipaten Warsawa menyumbang lebih dari 100 ribu personel. Bahkan setelah perang berakhir, banyak negara-negara kecil yang memiliki pasukan berkekuatan besar juga.

    Tetapi data jumlah tentara yang disebutkan tadi berasal dari sumber militer resmi dan sering pada kenyataannya jumlahnya jauh lebih sedikit dikarenakan banyaknya tentara yang desersi, penipuan oleh komandan lapangan yang menyetor daftar prajurit yang dilebih-lebihkan untuk mengambil keuntungan dari gaji yang diberikan pemerintah kepada unitnya, kematian, dan di beberapa negara bahkan terang-terangan berbohong untuk memenuhi jumlah tentara yang ditargetkan.

    Bangkitnya Revolusi Industri sendiri pada tahap awal banyak dipengaruhi oleh besarnya jumlah pasukan militer. Karena hal ini menjadikan banyak pabrik yang harus memproduksi senjata dan peralatan militer lainnya dalam jumlah besar. Inggris merupakan produsen peralatan perang yang terbesar selama konflik ini, mereka mengirimkan sebagian besar senjata ini kepada sekutu-sekutunya (dan hanya memakainya sedikit). Sebaliknya Prancis yang juga menjadi produsen peralatan perang nomor dua terbesar, memproduksinya untuk memperlengkapi pasukannya sendiri dan juga sekutu-sekutunya.

    Warisan untuk dunia militer lainnya adalah digunakannya semaphore oleh Perancis untuk saling berkomunikasi antara Menteri Perang, Lazare Carnot, dengan pasukan di perbatasan selama tahun 1790-an. Dan Prancis tetap mempergunakan sistem ini sampai peperangan era Napoleon berakhir. Dan perlu ditambahkan pula bahwa pada konflik inilah pertama kali Prancis menggunakan balon udara untuk memantau posisi musuh pada pertempuran Fleurus, 26 Juni 1794, juga digunakannya roket serta meriam yang telah disempurnakan.